E-Government Sistem dalam Pelayanan
Publik
e-government
Teknologi merupakan bentuk perkembangan
jaman. Seluruh manusia di muka bumi dipaksa untuk membuka mata pada perubahan
teknologi yang sedemikian cepat dan mempengarhi segala aspek kehidupan. Tak
dipungkiri, kemajuan teknologi mempercepat segalanya, termasuk pelayanan
publik. Sudah bukan rahasia umum jika pelayanan publik di negeri ini dapat
dikatakan jauh panggang dari api. Cepat hanya untuk pihak-pihak tertentu.
Keberadaan teknologi diharapkan menjadi jawaban untuk menyamaratakan kecepatan
pelayanan.
Teknologi internet yang kini sudah
mendarahdaging harus dimanfaatkan secara optimal. Sebuah kemajuan jika
pemerintah mulai mengadopsi teknologi tersebut sebagai infrastruktur utama
pelayanan publik. Dalam tulisan berikut mencoba menguraikan seberapa besar
pemerintah serius menggarap e-government system dalam pelayanan publik.
A. Pelayanan Publik Yang
Efektif Dan Komunikatif
Hampir setiap warga negara akan
berurusan dengan instansi pemerintahan untuk keperluan administrasi publik.
Beraneka dokumen kependudukan dan dokumen usaha, mengharuskan warga negara
harus berinteraksi dengan para aparat pemerintah di berbagai lembaga. Sayangnya
pelayanan yang diberikan hingga kini dinilai belum memuaskan. Keberadaan Unit
Pelayanan Satu Atap (UPTSA) di tingkat pemerintah kota atau kabupaten, belum
memberikan layanan yang efektif bahkan masih jauh untuk dapat dikatakan
komunikatif.
Pelayanan Negara terhadap warga
negaranya merupakan amanat yang tercantum dalam UUD 1945 dan diperjelas kembali
dalam UU No. 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. UU Pelayanan Publik
mengatur prinsip-prinsip pemerintahan yang baik agar fungsi-fungsi pemerintahan
berjalan efektif. Pelayanan publik dilakukan oleh instansi pemerintahan atau
koporasi untuk dapat memperkuat demokrasi dan hak asasi manusia, mempromosikan
kemakmuran ekonomi, kohesi sosial, mengurangi kemiskinan, meningkatkan
perlindungan lingkungan, bijak dalam pemanfaatan sumber daya alam, memperdalam
kepercayaan pada pemerintahan dan administrasi publik.
Beragam lembaga penyedia layanan publik
milik pemerintah hendaknya berkaca dari pengalaman masa lalu, saat banyak
kritikan diarahkan untuk perbaikan kualitas pelayanan publik.
Lembaga-lembaga pemerintah selalu kedodoran dalam menyediakan pelayanan publik.
Pengurusan KTP, Surat Izin Mengemudi (SIM), Izin Mendirikan Bangunan (IMB),
sulitnya memperoleh layanan pendidikan yang mudah dan bermutu, layanan kesehatan
yang tidak terjangkau oleh sebagian besar masyarakat, dan sebagainya, merupakan
sebagian kecil dari contoh kesemrawutan pelayanan publik oleh pemerintah. Hal
tersebut tentunya bertentangan dengan semangat reformasi yang sudah berjalan
selama lebih dari satu dekade.
Faktor utama yang menjadi penghambat
dalam pelayanan publik yang baik dapat dilihat dari dua sisi, yakni birokrasi
dan standar pelayanan publik. Sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam tubuh
pemerintahan negara Indonesia pada semua jenjang dan jenisnya memiliki
sturuktur birokrasi yang panjang, gemuk, dan berbelit. Akibatnya, urusan di
lembaga penyedia layanan publik menjadi berbelit-belitnya dan membutuhkan
waktu yang lebih lama serta biaya tinggi. Selain itu, ketiadaan standarisasi
pelayanan publik yang dapat menjadi pedoman bagi setiap aparat pemerintah
adalah sisi lain yang menjadi kelemahan pemerintah dalam memberikan pelayanan
publik yang baik. Indonesia sebagai sebuah negara besar yang sedang membangun,
harus menyadari jika kebutuhan pelayanan publik yang baik dan berkualitas
adalah mutlak.
Di era informasi, pelayanan publik
mengahadapi tantangan yang sangat besar. Hal ini berkaitan dengan relasi antara
negara dengan pasar, negara dengan warganya, dan pasar dengan warga.
Dahulu, negara memposisikan dirinya sebagai pihak yang paling dominan dalam
pelayanan publik. Pasar dan warga negara mau tidak mau harus menerima kondisi
pelayanan publik yang tersedia. Tidak sedikit warga negara yang merasa kecewa
dengan pelayanan publik yang berpihak pada golongan tertentu, komunikasi yang
dibangun oleh aparat penyedia layanan tidak ramah dan cenderung berbelit-belit
(tidak efektif). Seiring dengan perkembangan jaman dan logika, kondisi
pelayanan publik yang disediakan mendapat kritikan dari berbagai pihak untuk
memperbaiki kualitas komunikasi dan pengelolaan pelayanannya, mengingat tidak
semua warga negara dapat menikmati aksesibilitas pelayanan publik yang efektif.
Padahal sebagai amanat perundangan, pelayanan publik seharusnya menyentuh semua
lapisan tanpa terkecuali dan tetap menjaga etika pelayanan.
B. Adopsi E-Government System
Di hampir semua negara maju di Amerika
dan Eropa, pelayanan publik telah mengandalkan teknologi komunikasi dan
informasi. Artinya, semua proses layanan publik dapat diakses oleh seluruh
warga negara secara terintegrasi dengan cepat. Sistem layanan tersebut dikenal
dengan sebutan e-government system. Tujuan besar
penerapane-government system adalah untuk
menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik, dimana layanan pemerintahan
bersifat transparan, akuntabel, dan bebas korupsi. E-government system pada hakikatnya
merupakan proses pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi sebagai alat
untuk membantu jalannya sistem pemerintahan dan pelayanan public yang lebih
efektif dan efisien (Sosiawan, 2008). Dalam penyelenggaraannya, e-government system mengacu pada dua hal,
yaitu penggunaan teknologi informasi yang memanfaatkan jaringan internet dan
terbangunnya sebuah sistem baru dalam tata kelola pemerintahan. Namun
sayangnya, selama ini penafsiran penggunaan teknologi elektronik hanya sebatas
alat manual dengan komputer sebagai sarana pelayanan di lembaga penyedia
layanan publik.
Dalam
penyelenggaraan pemerintahan, diperlukan suatu sistem komunikasi agar terjalin
komunikasi efektif dan memiliki makna yang mampu mengarahkan pencapaian tujuan
pembangunan. Hal itu perlu sekali dilakukan karena proses pembangunan
melibatkan berbagai elemen masyarakat. Buruknya citra
pelayanan publik di Indonesia perlu berkaca pada populernya e-government system di Negara Barat. Maka
tahun 2002, e-government system mulai diadopsi di
Indonesia sebagai sebuah inovasi baru dalam bidang kepemerintahan. E-government system merupakan sebuah
difusi teknologi, yang secara teoritis berarti proses tersebarnya
suatu inovasi ke dalam sistem sosial melalui saluran komunikasi selama periode
waktu tertentu (Rogers dan Shoemaker, 1987). Dalam kaitannya dengan sistem
sosial, difusi juga merupakan suatu jenis perubahan sosial, yaitu proses
terjadinya perubahan struktur dan fungsi dalam suatu sistem sosial. Ketika
inovasi baru diciptakan, disebarkan, dan diadopsi atau ditolak masyarakat, maka
konsekuensinya yang utama adalah terjadinya perubahan sosial.
Implementasi e-government system yang mendominasi di
seluruh dunia saat ini berupa integrasi data kependudukan secara nasional dan
pelayanan pendaftaran warga negara antara lain pendaftaran kelahiran,
pernikahan, kematian, penggantian alamat, dan perpajakan. Disinilah peran
pemerintah sebagai koordinator utama untuk menciptakanlingkungan
penyelenggaraan pemerintahan. Agar pelayanan publik
berjalan lebih efektif, perlu ada dorongan pada pemerintah agar menyegerakan
penerapan e-government system (Shalahuddin dan
Rusli, 2005).
Pemerintah dapat memanfaatkan peluang
dari teknologi yang digunakan dalam e-government system yaitu teknologi
informasi dan komunikasi, mengingat kelak masyarakat memiliki alternatif dalam
mengakses pelayanan publik secara tradisional maupun modern (Indrajit, 2002).
Namun demikian, ada dua hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah saat
menerapkan e-government system, yaitu :
· Kebutuhan masyarakat menjadi prioritas
utama dalam pelayanan pemerintah. Pemerintah seyogyanya tidak lagi memposisikan
sebagai pihak yang dominan, tetapi mempertimbangkan posisinya sebagai penyedia
layanan bagi masyarakat.
· Ketersediaan sumber daya, baik dari
sisi warga negara maupun pihak pemerintah. Sumber daya dimaknai sebagai sumber
daya manusia yang terampil dan ketersediaan sumberdaya teknologi yang merata.
C. Kesiapan Infrastruktur
Dan Sumber Daya Manusia
Bukan sesuatu yang aneh jika masyarakat
Indonesia masih gagap dengan perkembangan teknologi. Keberadaan teknologi baru
digunakan sebatas untuk hal-hal yang bersifat hiburan, termasuk oleh para
aparat pemerintah. Dalam Information Seeking Theory yang diungkapkan
Donohew dan Tipton (dalam Badri, 2008), penerimaan seseorang atau sekelompok
masyarakat pada teknologi terjadi secara bertahap, yaitu tahap pencarian,
penginderaan, dan pemrosesan informasi. Ketiga tahap ini berakar dari pemikiran
psikologi sosial tentang sikap manusia. Secara tidak sadar, orang
cenderung untuk menghindari informasi yang tidak sesuai dengan gambaran nyata
suatu informasi atau teknologi, karena
kedua hal itu bisa saja membahayakan.
Di Indonesia, rata-rata penduduknya
masih sangat awam pada perkembangan dan inovasi tekologi. Akibatnya pembangunan
yang merujuk pada penemuan dan aplikasi inovasi sering berjalan lambat karena
proses yang pertama kali harus dilakukan adalah memberikan pemahaman pada
pemanfaatan teknologi baru. Tidak berhenti sampai disitu. Mengingat pada
kehidupan masyarakat pedesaan atau tempat-tempat yang jauh dari ibukota negara
dan yang masih sangat tradisional, penolakan pada teknologi teramat besar.
Sebagai negara berkembang (The Third
World), pemanfaatan aplikasi e-government system di Indonesia
sebenarnya tidak termasuk menggembirakan. Padahal pemerintah sudah berusaha
untuk merumuskan beberapa peraturan perundangan terkait dengan teknologi
informasi, seperti Inpres No. 6 tahun 2001 tentang Pengembangan dan
Pendayagunaan Telematika di Indonesia dan Inpres No. 3 tahun 2003 tentang
Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan e-Government.
Dibandingkan dengan negara tetangga
seperti Singapura dan Malaysia, tampak sekali bahwa aplikasi dan implementasi e-government system di Indonesia masih
tertinggal. Saat ini sebenarnya perangkat perundangan mengenai e-government system di Indonesia sudah cukup
lengkap (Kumorotomo, 2008). Melalui Inpres No. 3 tahun 2003 tentang Strategi
Pengembangan E-Government telah memandatkan :
· Pengembangan sistem pelayanan yang
andal dan terpercaya serta terjangkau oleh masyarakat luas.
· Penataan sistem manajemen dan proses
kerja pemerintah pusat dan pemerintah daerah secara holistik.
· Pemanfaatan teknologi informasi secara
optimal.
· Peningkatan peran-serta dunia usaha
dan pengembangan industri telekomunikasi dan teknologi informasi.
· Pengembangan sumberdaya manusia di
pemerintahan dan peningkatan e-literacymasyarakat.
· Pelaksanaan pengembangan secara sistematis melalui
tahapan yang realistis dan terukur.
Ada permasalahan kompleks yang dihadapi
dalam penerapan penerapan e-government system untuk perbaikan tata
kelola pemerintahan. Masalah utamanya adalah resistensi dan kebimbangan saat
menyikapi adanya inovasi baru untuk mendobrak kebiasaan lama. Kumorotomo (2008)
merangkum dalam tiga aspek besar permasalahan dalam penerapane-government
system, yaitu :
1. Aspek Budaya
· Resistensi dan
penolakan dari masyarakat dan jajaran aparat pemerintah terhadap e-government system.
· Kurangnya kesadaran
pada manfaat dan penghargaan terhadap teknologi yang dipergunakan dalam e-government system.
· Keengganan berbagi
data dan informasi, agar terintegrasi secara nasional di seluruh lembaga
penyedia layanan publik.
2. Aspek Kepemimpinan
· Terjadi konflik
kepentingan di tingkat pemerintah pusat dan daerah.
· Peraturan yang
belum tersosialisasikan dan penerapannya belum merata.
· Pengalokasian
anggaran untuk pembangunan infrastruktur pelayanan publik yang memanfaatkan e-government system dalam APBN / APBD
belum menjadi prioritas.
3. Aspek Infrastruktur
· Adanya ketimpangan
digital yang mengakibatkan belum meratanya ketersediaan infrastruktur teknologi
informasi dan komunikasi, mengingat secara geografis wilayah Indonesia tersebar
di berbagai kepulauan.
· Ketersediaan
infrastruktur untuk pengadaan teknologi informasi dan komunikasi masih terpusat
di kota-kota besar. Tenaga ahli di daerah terpencil pun masih sangat jarang,
jika tidak mau dikatakan tidak ada.
· Sistem layanan
publik di Indonesia tidak memiliki standar yang baku. Hal ini menghambat
pengintegrasian data kependudukan dan dokumen warga negara lainnya secara
nasional.
D. Tantangan Pengembangan E-Government System
Sudah saatnya pelayanan publik
berorientasi pada pemenuhan kebutuhan masyarakat dan terintegrasinya data
kependudukan untuk mempermudah pengurusan dokumen dan layanan publik lainnya.
Apabila pelayanan yang dilakukan menggunakan perspektif masyarakat sebagai
pelanggan, maka keikutsertaan masyarakat sebagai pihak pengontrol tata kelola
pemerintahan merupakan legitmasi dari masyarakat.Pelayanan yang berkualitas
tidak hanya untuk lembaga penyelenggara jasa komersial (swasta), tetapi sudah
harus merembes ke lembaga-lembaga pemerintahan yang selama ini resisten
terhadap tuntutan akan kualitas pelayanan publik (Trilestari, 2004).
Tujuan besar dari penerapan e-government system adalah untuk
meningkatkan kualitas pelayanan publik. E-government system dapat mendorong
terwujudnya tata kelola pemerintahan yang transaparan, akuntabel, bebas
korupsi, ramping birokrasi, dan meningkatkan partisipasi warga negara
dalam kontrol penyelenggaraan pemerintahan. Pelayanan publik yang baik,
efektif, dan efisien, dapat menjadi tolok ukur keberhasilan pembangunan di
suatu negara. Mungkinkah hal tersebut terjadi di Indonesia? Jawabannya sangat
mungkin. Pemerintah perlu menyediakan secara proporsional tenaga ahli di bidang
teknologi informasi dan komunikasi dalam tubuh lembaga pemerintahan dan
penyedia layanan publik, serta menjembatani kesenjangan aksesibilitas teknologi
di seluruh wilayah Indonesia.
Lingkup pengembangan e-government system mencakup skala
nasional. Maka diperlukan kerangka komunikasi antar sistem e-government di daerah untuk saling
berhubungan dan saling bekerjasama. Dalam implementasinya, perlu ada mekanisme
komunikasi baku antar sistem, sehingga masing-masing sistem aplikasi dapat saling
bersinergi untuk membentuke-government services yang lebih besar dan
kompleks.
Semenjak 2004, pemerintah melalui
Departemen Komunikasi dan Informatika telah membuat blue-print untuk
pengembangan aplikasi sistem e-government. Dalam lembar cetak biru tersebut
telah dijelaskan bagaimana penggunaan dan pengkoneksian jaringan di tingkat
daerah maupun pusat. Hal-hal yang sudah tertuang dalam blue print itu
seyogyanya dapat dimanfaatkan oleh instansi pemerintah untuk menjawab tantangan
pelayanan publik yang lebih modern dan efektif.
Implementasi e-government system di Indonesia masih
separuh jalan dan masih jauh di bawah standar yang ideal dan yang diinginkan.
Agar mencapai kondisi yang ideal, harus dilakukan penyempurnaan konsep dan
strategi pelaksanaan e-government system dari berbagai sisi.
Berkaca dari Kabupaten Sragen yang sudah menerapkan e-government system dalam penyelenggaraan
pemerintahan dari tingkat Kabupaten hingga Desa, menjadi bukti jika teknologi
informasi dan komunikasi dapat diterapkan di Indonesia dan menjadi sarana
terpenting dalam perbaikan tata kelola pemerintahan.
*******
DAFTAR BACAAN
Badri, M. 2008. Kontribusi Teori-teori
Komunikasi dalam Komunikasi Inovasi. Tapak maya :http://ruangdosen.wordpress.com/2008/09/10/kontribusi-teori-teori-komunikasi-dalam-komunikasi-inovasi/.
Diakses pada 21 September 2011.
Heeks, Richards. 2003. Most
eGovernment-for-Development Projects Fail: How Can Risks be Reduced? iGoverment Working
Paper Series.
Institute for Development Policy and Management, Manchester UK. Tapak maya:http://unpan1.un.org/intradoc/groups/public/documents/NISPAcee/UNPAN015488.pdf.
Diakses pada 27 Juni 2012.
Indrajit, Richardus. 2002. Electronic Government. Penerbit Andi,
Yogyakarta.
Kurniawan, Teguh. 2006. Hambatan dan Tantangan
dalam Mewujudkan Good Governance melalui Penerapan E-Government di Indonesia.
Prosiding Konferensi Nasional Sistem Informasi 2006. Penerbit Informatika,
Bandung.
Kumorotomo, Wahyudi. 2008. Kegagalan Penerapan
E-Government dan Kegiatan Tidak Produktif dengan Internet. Makalah Kuliah. Tapak
maya : http://kumoro.staff.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2009/01/kegagalan-penerapan-egov.pdf.
Diakses pada 23 November 2011.
Nasution, Zulkarimen. 1998. Komunikasi
Pembangunan, Pengenalan Teori dan Penerapannya. Rajawali Pers,
Jakarta.
Rogers, Everett M., dan Shoemaker,
F.Floyd. 1987. Communication of Innovations.Terjemahan Abdillah
Hanafi Memasyarakatkan Ide-Ide Baru. Penerbit Usaha
Nasional. Surabaya.
Salahudin, M. dan A. Rusli. 2005.
Information Systems Planning for E-Government in Indonesia. Summerized
Paper of The Second International Conference on Innovation in Information
Technology (IIT’05). Tidak diterbitkan.
Sosiawan, Edwi Arief. 2008. Tantangan dan Hambatan
Implementasi E-Government di Indonesia. Makalah disampaikan
dalam Seminar Nasional Informatika 2008. Tapak maya:http://repository.upnyk.ac.id/162/1/13_Tantangan_Dan_Hambatan_Dalam_Implementasi_e-Government_Di_Indonesia.pdf.
Diakses pada 23 November 2011.
Stahl, Bernd Carsten. 2008. Empowerment Through
ICT: A Critical Discourse Analysis of the Egyptian Policy. Tapak maya:http://www.tech.dmu.ac.uk/~bstahl/publications/2008_empowerment_through_ICT_hcc8.pdf.
Diakses pada 14 Juni 2012.
Trilestari, Endang Wirjatmi. 2004.
Keikutsertaan Masyarakat dalam Membangun Kualitas Pelayanan Publik. Jurnal Ilmu
Administrasi Vol. 1 No. 1 tahun 2004. STIA LAN, Bandung.
Perhimpunan Pendidikan Demokrasi. 2008. Etika Pelayanan Publik
di Indonesia.
Buletin Konstelasi edisi ke-11, Maret 2008. Diterbitkan oleh Perhimpunan
Pendidikan Demokrasi. Tapak maya : http://www.p2d.org/index.php/kon/28-11-maret-2008/140-etika-pelayanan-publik-di-indonesia.html.
Diakses pada 3 Januari 2012.
_________. 2004. Blue Print Sistem
Aplikasi E-Government.
Departemen Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. Tapak maya: http://pkpba.uin-malang.ac.id/files/BLUE%20PRINT%20SISTEM%20APLIKASI.pdf.
Diakses pada 27 Juni 2012.
________. 2009. Undang-undang Nomor 25
tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Lembar Negara.
Salam. Isi blog sudah bagus dan lengkap. tambahkan lebih banyak lagi wawasan lewat postingan selanjutnya
BalasHapus